Sunday, May 29, 2016

Langit Bulan Januari

Pada hari itu langit sungguh sendu.
Dibiarkan daun-daun itu menari.
Mengiringi nyanyian angin yang merdu
Disampaikan senandung rindu 
untuk hujan di penghujung januari.

Awan dengan gembira berkumpul.
Sorak sorai mereka beriringan.
Tak ada yang lebih bahagia.
Hanyalah langit bulan januari.

Hujan  selalu memesona.
Langit jatuh cinta melihat rintik yang perlahan.
Cukup dengan gerimis.
Aroma kerinduan semakin menguap.
Setiap tetes didekapnya erat.

Namun mengapa hujan malah mengguyur habis semua.
Diluapkannya begitu deras.
Semakin banyak yang hujan katakan.
Kebersamaannya pada langit akan semakin cepat.
Menuntaskan segala kenikmatan yang tengah basah.

Kepergian hujan  selalu dirindukan langit bulan januari.
Walau genangan airnya akan selalu menyakitkan.








Monday, May 23, 2016

Aku Tidak Lagi Bermimpi

Suatu malam aku bertanya, tentang malam-malam sebelumnya
yang dirahasiakan langit waktu petang.
Tentang senja yang hadir perlahan,
lalu menghilang dengan cepat tanpa beban.

Aku takut ketika malam datang, bukan karena gelapnya.
Sungguh bulan dan bintang sudah cukup setia.
Namun malam terlalu panjang.
Sedang mataku terjaga didekap keresahan.

Malam selalu membuatku tersiksa.
Membuatku lupa seperti apa tidur bagi manusia yang menjelma kalong.
Memejamkan mata seperti merelakan dibawa ke alam bawah sadar yang kelam.
Rasanya aku bermimpi.
Mataku terasa panas,  tapi hujan turun di pelupuk mata.
Namun hujan kali ini tak ada aroma tanah yang menenangkan.
Justru sedih tak berkesudahan.

Tolong malam cepatlah pergi.
Biar kicau burung lekas bangunkanku waktu pagi.
Biar aku tak sesakit ini.

Tersadarku pagi masih lama datang.
Tapi sosokmu telah lama menghilang.
Aku tidak lagi bermimpi.
Kau memang telah pergi.

Sunday, May 22, 2016

Untuk makhluk sempurna, manusia.

Aku ini manusia, makhluk dengan ego yang sering tak berarah.
Yang seringkali mencari pembenaran lewat nalar juga intuisi.
Bisa apa kalau logika dan perasaan sedang adu argumen.
Entah mana yang paling kuat, keduanya mencoba meyakinkan.

Aku manusia, pemilik indera yang sempurna.
Mata ku melihat leluasa.
Mulut bebas saja berkata.
Telinga pun siap mendengar dengan seksama.
Sikapku adalah pembenarnya.

Ya, aku manusia.
Manusia yang katanya punya derajat istimewa.
Bagaimana tidak, akalmu terasah  tinggi.
Jutaan neutron aktif sebagai pengendali.

Tapi aku hanya manusia.
Yang lagi-lagi hanya makhluk tak tahu diri.
Semesta pun janggal menamakanku manusia.
Mungkin karena ulah yang semena bahkan tak peduli.

Untukmu manusia.
Ilmu bolehlah tinggi, namun baiknya tetaplah merunduk seperti padi.
Kau bukan hewan jadi tolong lebih manusiawi.
Terkadang banyak hal perlu melibatkan hati.
Ketahuilah kasih masih dibutuhkan bumi.




Tuesday, May 10, 2016

Harapan dan Kenyataan

Telah lama menanti, tapi cukuplah kini kau sudahi.
Sebanyak apapun kau bertanya, jawaban tetaplah sama.
Bertahan hanya akan menyakitkan.
Menjauh pergi tinggalah pilihan.
Harapan kubur saja dalam ingatan.

Apa yang salah dengan harapan,
Benih-benihnya tumbuh subur dengan pupuk keyakinan.
Disiram doa ketulusan.
Tak disangka hampirlah ia mencapai awan.

Jangan salahkan harapan,
Apalagi kenyataan.
Semua bisa saja tak sesuai keinginan.
Lalu haruskah kulupakan.

Ia terlalu tinggi, jatuh lebih dari sakit.
Sangatlah bebas, apabila dipangkas maka semakin liar ia tumbuh.
Cukuplah kuat, namun tetap saja mati jika kau cabut akarnya.

Tak adakah satu yang kau sanggupi.
Melakukan satu dari ketiganya pun jiwamu lah yang mati.

Tak ada lagi pilihan.
Hanyalah meninggalkannya pergi, biar layu perlahan.

Keikhlasan memupuk harapan.
Sekarang sudikah menghancurkan.
Harapanku, harapanmu, sebut saja harapan kita.
Biarlah gugur dengan sendirinya.
Harapan sirna, kalah dengan kenyataan yang fana.




Saturday, May 7, 2016

Rindu yang bisu

Entah berapa kali putaran jarum jam yang ku abaikan,
menunggunya tepat ketika sang mentari datang menghampiri.
Aku hanya ingin pagi segera datang.
Pada sinar hangatnya, ku sembunyikan malam yang kala itu tengah dilanda kegundahan.
Biar saja cahaya itu bias dan kegelisahan tetap milik malam yang gelap.
Aku telah lama menunggu pagi, karena malam telah sangat letih.
Pada heningnya selalu kusimpan bait rindu sendiri.
Sungguh betapa gundukan rindu itu telah menjadi alunan melodi.
Selamanya tak akan kau dengar.
Nyanyian rindu, mungkin hanya milikku.
Maka tunggulah pagi datang menghapusnya perlahan.
Karena hari akan sangat panjang, cukuplah malam yang menjadi teman.
Karena sejatinya malam akan tetap diam, resah yang kubagi padanya dijawab dengan kerlip bintang.
Tentang rindu, biarkan ia bisu.
Pemiliknya tak akan tahu, cukup saja aku.