Monday, February 8, 2016

Waktu Berlalu

Sehari telah berlalu,
Masih teringat jelas ucapan perpisahan itu.
Bukanlah ucapan yg terdengar mudah ditelinga.
Bukan pula ucapan yg nampak indah dikatakan.
Tapi sepertinya ucapan ini bisa sangat menyesakkan.
Aku ataupun kamu tak ingin memulai untuk mengakhiri.
Sedangkan akhir cerita sudah menunggu untuk dimulai.
Untuk mengakhiri memang akan sangat mudah.
Seketika kata melenyapkan segala, membiarkan hati menerima dengan pasrah.

Seminggu berlalu,
Masih tak jelas bagiku.
Berharap kemarin itu hanya mimpi buruk.
Tapi dalam nyata, hal itu makin membuatku terpuruk.
Aku tak ingin lagi ingat akan akhir cerita kemarin.
Melupakan semua menjadi hal yang paling kuingin.
Satu persatu kenangan, ingin kulenyapkan.
Harusnya memang tak ada lagi dalam ingatan.

Sebulan berlalu,
Aku baru tahu bagaimana semua ini menyiksaku.
Rindu menyelinap dihati.
Sementara cinta telah beranjak pergi.
Ribuan kenangan hadir kembali.
Tapi kosong tak ada yg mengisi.
Ragaku hadir disini, tapi jiwaku kau bawa pergi.
Berkali ku coba merangkai satu persatu kenangan.
Semua begitu indah dalam ingatan.
Berbagai hal telah membuat kita bertahan dan saling menguatkan.
Angan akan masa depan, yg mengatasnamakan kita menjadi tujuan.
Tapi sekarang semua itu bagai mimpi.
Menjadikannya nyata hanya usaha sia-sia.
Takdir tak menghendaki.
Ini bukan jalan kita untuk bahagia.

Satu tahun berlalu,
Mungkin masa itu telah jauh berlalu.
Aku ataupun kamu telah dapat menerima hal yg cukup mendera batin itu.
Membiarkan rasa perlahan menguap ke langit yg mulai kelam.
Kesedihan akan bergumpal dalam awan hitam.
Lalu dibiarkannya rindu jatuh lewat tetesan air hujan yg menggenang.
Dengan sendirinya akan menghilang ketika matahari datang.
Cuaca yg menggambarkan kelabu itu sudah lewat, kini digantikan senyum matahari yg hangat.
Disaat itu kita telah mencoba menerima.
Bahwa di jalan yg berbeda, masing-masing kita telah mencari jalan bahagia.
Meski bahagia itu bukan lagi tentang kita.
Tapi aku tetap mengingatmu sebagai bahagiaku.
Karena bahagia bukan hanya tentang bersatu.


Thursday, February 4, 2016

"Dewasa"

Tidak kah kau sadar, kita hidup bergelut dalam hukum alam.
Tak semudah merumuskan hukum Newton yang menjelaskan tentang adanya aksi-reaksi.
Tak juga hanya bicara sejarah yang membahas tentang awal dan akhirnya.
Bukan pula seindah cerita FTV yang selalu happy ending.

Banyak hal yang tak terduga.
Beberapa bahkan tak masuk logika.
Bukan rumit, tapi setidaknya butuh banyak pemahaman.
Ya ini kehidupan.

Masa kecil memang penuh canda tawa.
Saat remaja banyak kisah tak terlupa.
Dewasa?

Sampai saat ini, masih sulit mencerna makna dari arti kata yg terdengar sempurna itu.

Pencapaian umur kah?
Pemikiran yang matang?
Atau embel lainnya untuk bisa mendapat sebutan itu?

Nyatanya beberapa orang berani menyatakan dirinya dewasa.
Sebagian lainnya bahkan mencoba untuk bisa disebut dewasa.
Banyak pula yang masih bertanya.

Sepenuhnya pertanyaan itu pun yang mengusik pikiranku.

Karena diumur yang katanya dewasa pun, aku akan selalu dianggap anak kecil oleh keluarga.
Karena dengan pemikiran ku yang cukup matang pun, pendapatkan seolah diragukan untuk diterima.

Lalu apa pembuktian untuk dapat dikatakan dewasa?

Yang ku tau dewasa hanya sebuah kata untuk menutupi banyak kepalsuan.
Kata yang disanjung untuk sekedar pembuktian.

Membahagiakankah jika disebut sudah dewasa?
Mungkin, bagi segelintir orang.
Bagiku, kata itu bagai tuntutan yang harus dilakukan.

Sejujurnya jadi dewasa itu melelahkan.

Ketika menangis adalah penyelesaian yg cukup di waktu kecil, lalu mencoba tersenyum bahagia itu bentuk penyelesaian paling sempurna di tahap yang disebut dewasa.

Jika marah menjadi luapan kekecewaan paling tepat saat kecil, maka berlapang dada menjadi keharusan yang diterima sebagai orang dewasa.

Masa kecil memang terdengar sederhana, seperti yang ku hafal dalam lagu, rasa sayangku terhitung dalam deretan angka yang menyebut urutan keluarga ku satu persatu.
Akan tetapi, saat dewasa kata "sayang" tak semudah aku menyanyikan lagu masa kecilku itu.

Bahkan masalah besar itu bukan lagi karena kamu bertengkar karena berebut mainan dengan temanmu.
Bukan pula hanya karena orangtua yang menolak membelikan mainan kesukaanmu.

Tak perlu penjelasan panjang lebar.

Tapi dengan menjadi dewasa nantinya kamu akan tau bahwa tak hanya masalah mu yang harus dipikirkan.
Mungkin juga terselip nama-nama yang sering kau sebutkan dalam lagu yang waktu kecil sering kau nyanyikan.
Atau mungkin akan bertambah dengan deretan nama-nama orang lain yang kau sayang.

Dan penyelesaian masalahmu tak bisa lagi hanya sekedar tangisan dan amarah.
Sanggupkah?!

Saat kecil, mungkin keinginan menjadi cepat dewasa adalah pengandaian terhebat untuk sebuah harapan. Dimana kamu masih bisa mengarang cerita layaknya dongeng yang pernah ibumu bacakan.
Tapi di masa sebenarnya, dewasa adalah realita yang harus kamu hadapi. Kelak yang mungkin membuatmu menginginkan masa kecilmu kembali.