Wednesday, June 15, 2016

Ada Kata yang Sesak pada Halaman 30

Tahukah kau, buku yang kau baca itu belum memiliki judul.
Kau hanya tertarik melihat sampul warna abu.
Warna kesukaanmu, warna langit ketika menyambut hujan.
Dari sekian banyak tumpukan disana, kau dengan mantap mengambilnya.

Buku ini kembali membuka goresan masa lalu. Tiap katanya  di awal menggambarkan lukisan hati. Betapa cinta menjadi hal paling manis.
Ketika kupu-kupu beterbangan menggelitik perutmu tiap waktu. Bunga itu bermekaran, merah merona.

Paragraf demi paragraf membuatmu terhanyut. Bahkan getar itu kembali terasa. Kau mulai masuk ruang waktu. Kau jelajahi setiap lorong memori. 

Sungguh aku masih dapat melihat aku tertawa bahagia bersamamu. Setiap saat jemari kita bersatu. Betapa dekapmu menyisakan semerbak harum ditubuhku. Bahkan bahumu menjadi sandaran ternyaman kala itu.

Kita seperti telah menyatu. Tiap kali kau pergi, bayangku mengikutimu. Pertemuan kita tak pernah menghentikan rinduku. Jemari ini tetaplah milikmu. Genggam lah seutuhnya.

Betapa ini kisah yang amat panjang. Tapi aku terhenti di sebuah ruang yang menyakitkan. Semua yang kulihat kini nampak samar. Perlahan menjauh, tapi langkahku tak mampu lagi mengejar. Aku tersungkur di hamparan ruang kosong yang usang. Sebelum kubuka halaman selanjutnya, lembaran kertas itu telah bernodakan tetes luka lama. 

Di halaman 30 semua terasa menyesakkan. Aku berharap tak mengingatnya. Tapi jiwaku tertahan disana. Masih memandangi bayangmu yang semakin jauh pergi. Genggammu terlepas dari jemari. Rindu kini hilang dikubur pilu. Tak ada lagi aku dan kamu. Akhir halaman 30 hanyalah milikku.




Sunday, May 29, 2016

Langit Bulan Januari

Pada hari itu langit sungguh sendu.
Dibiarkan daun-daun itu menari.
Mengiringi nyanyian angin yang merdu
Disampaikan senandung rindu 
untuk hujan di penghujung januari.

Awan dengan gembira berkumpul.
Sorak sorai mereka beriringan.
Tak ada yang lebih bahagia.
Hanyalah langit bulan januari.

Hujan  selalu memesona.
Langit jatuh cinta melihat rintik yang perlahan.
Cukup dengan gerimis.
Aroma kerinduan semakin menguap.
Setiap tetes didekapnya erat.

Namun mengapa hujan malah mengguyur habis semua.
Diluapkannya begitu deras.
Semakin banyak yang hujan katakan.
Kebersamaannya pada langit akan semakin cepat.
Menuntaskan segala kenikmatan yang tengah basah.

Kepergian hujan  selalu dirindukan langit bulan januari.
Walau genangan airnya akan selalu menyakitkan.








Monday, May 23, 2016

Aku Tidak Lagi Bermimpi

Suatu malam aku bertanya, tentang malam-malam sebelumnya
yang dirahasiakan langit waktu petang.
Tentang senja yang hadir perlahan,
lalu menghilang dengan cepat tanpa beban.

Aku takut ketika malam datang, bukan karena gelapnya.
Sungguh bulan dan bintang sudah cukup setia.
Namun malam terlalu panjang.
Sedang mataku terjaga didekap keresahan.

Malam selalu membuatku tersiksa.
Membuatku lupa seperti apa tidur bagi manusia yang menjelma kalong.
Memejamkan mata seperti merelakan dibawa ke alam bawah sadar yang kelam.
Rasanya aku bermimpi.
Mataku terasa panas,  tapi hujan turun di pelupuk mata.
Namun hujan kali ini tak ada aroma tanah yang menenangkan.
Justru sedih tak berkesudahan.

Tolong malam cepatlah pergi.
Biar kicau burung lekas bangunkanku waktu pagi.
Biar aku tak sesakit ini.

Tersadarku pagi masih lama datang.
Tapi sosokmu telah lama menghilang.
Aku tidak lagi bermimpi.
Kau memang telah pergi.

Sunday, May 22, 2016

Untuk makhluk sempurna, manusia.

Aku ini manusia, makhluk dengan ego yang sering tak berarah.
Yang seringkali mencari pembenaran lewat nalar juga intuisi.
Bisa apa kalau logika dan perasaan sedang adu argumen.
Entah mana yang paling kuat, keduanya mencoba meyakinkan.

Aku manusia, pemilik indera yang sempurna.
Mata ku melihat leluasa.
Mulut bebas saja berkata.
Telinga pun siap mendengar dengan seksama.
Sikapku adalah pembenarnya.

Ya, aku manusia.
Manusia yang katanya punya derajat istimewa.
Bagaimana tidak, akalmu terasah  tinggi.
Jutaan neutron aktif sebagai pengendali.

Tapi aku hanya manusia.
Yang lagi-lagi hanya makhluk tak tahu diri.
Semesta pun janggal menamakanku manusia.
Mungkin karena ulah yang semena bahkan tak peduli.

Untukmu manusia.
Ilmu bolehlah tinggi, namun baiknya tetaplah merunduk seperti padi.
Kau bukan hewan jadi tolong lebih manusiawi.
Terkadang banyak hal perlu melibatkan hati.
Ketahuilah kasih masih dibutuhkan bumi.




Tuesday, May 10, 2016

Harapan dan Kenyataan

Telah lama menanti, tapi cukuplah kini kau sudahi.
Sebanyak apapun kau bertanya, jawaban tetaplah sama.
Bertahan hanya akan menyakitkan.
Menjauh pergi tinggalah pilihan.
Harapan kubur saja dalam ingatan.

Apa yang salah dengan harapan,
Benih-benihnya tumbuh subur dengan pupuk keyakinan.
Disiram doa ketulusan.
Tak disangka hampirlah ia mencapai awan.

Jangan salahkan harapan,
Apalagi kenyataan.
Semua bisa saja tak sesuai keinginan.
Lalu haruskah kulupakan.

Ia terlalu tinggi, jatuh lebih dari sakit.
Sangatlah bebas, apabila dipangkas maka semakin liar ia tumbuh.
Cukuplah kuat, namun tetap saja mati jika kau cabut akarnya.

Tak adakah satu yang kau sanggupi.
Melakukan satu dari ketiganya pun jiwamu lah yang mati.

Tak ada lagi pilihan.
Hanyalah meninggalkannya pergi, biar layu perlahan.

Keikhlasan memupuk harapan.
Sekarang sudikah menghancurkan.
Harapanku, harapanmu, sebut saja harapan kita.
Biarlah gugur dengan sendirinya.
Harapan sirna, kalah dengan kenyataan yang fana.




Saturday, May 7, 2016

Rindu yang bisu

Entah berapa kali putaran jarum jam yang ku abaikan,
menunggunya tepat ketika sang mentari datang menghampiri.
Aku hanya ingin pagi segera datang.
Pada sinar hangatnya, ku sembunyikan malam yang kala itu tengah dilanda kegundahan.
Biar saja cahaya itu bias dan kegelisahan tetap milik malam yang gelap.
Aku telah lama menunggu pagi, karena malam telah sangat letih.
Pada heningnya selalu kusimpan bait rindu sendiri.
Sungguh betapa gundukan rindu itu telah menjadi alunan melodi.
Selamanya tak akan kau dengar.
Nyanyian rindu, mungkin hanya milikku.
Maka tunggulah pagi datang menghapusnya perlahan.
Karena hari akan sangat panjang, cukuplah malam yang menjadi teman.
Karena sejatinya malam akan tetap diam, resah yang kubagi padanya dijawab dengan kerlip bintang.
Tentang rindu, biarkan ia bisu.
Pemiliknya tak akan tahu, cukup saja aku.


Monday, February 8, 2016

Waktu Berlalu

Sehari telah berlalu,
Masih teringat jelas ucapan perpisahan itu.
Bukanlah ucapan yg terdengar mudah ditelinga.
Bukan pula ucapan yg nampak indah dikatakan.
Tapi sepertinya ucapan ini bisa sangat menyesakkan.
Aku ataupun kamu tak ingin memulai untuk mengakhiri.
Sedangkan akhir cerita sudah menunggu untuk dimulai.
Untuk mengakhiri memang akan sangat mudah.
Seketika kata melenyapkan segala, membiarkan hati menerima dengan pasrah.

Seminggu berlalu,
Masih tak jelas bagiku.
Berharap kemarin itu hanya mimpi buruk.
Tapi dalam nyata, hal itu makin membuatku terpuruk.
Aku tak ingin lagi ingat akan akhir cerita kemarin.
Melupakan semua menjadi hal yang paling kuingin.
Satu persatu kenangan, ingin kulenyapkan.
Harusnya memang tak ada lagi dalam ingatan.

Sebulan berlalu,
Aku baru tahu bagaimana semua ini menyiksaku.
Rindu menyelinap dihati.
Sementara cinta telah beranjak pergi.
Ribuan kenangan hadir kembali.
Tapi kosong tak ada yg mengisi.
Ragaku hadir disini, tapi jiwaku kau bawa pergi.
Berkali ku coba merangkai satu persatu kenangan.
Semua begitu indah dalam ingatan.
Berbagai hal telah membuat kita bertahan dan saling menguatkan.
Angan akan masa depan, yg mengatasnamakan kita menjadi tujuan.
Tapi sekarang semua itu bagai mimpi.
Menjadikannya nyata hanya usaha sia-sia.
Takdir tak menghendaki.
Ini bukan jalan kita untuk bahagia.

Satu tahun berlalu,
Mungkin masa itu telah jauh berlalu.
Aku ataupun kamu telah dapat menerima hal yg cukup mendera batin itu.
Membiarkan rasa perlahan menguap ke langit yg mulai kelam.
Kesedihan akan bergumpal dalam awan hitam.
Lalu dibiarkannya rindu jatuh lewat tetesan air hujan yg menggenang.
Dengan sendirinya akan menghilang ketika matahari datang.
Cuaca yg menggambarkan kelabu itu sudah lewat, kini digantikan senyum matahari yg hangat.
Disaat itu kita telah mencoba menerima.
Bahwa di jalan yg berbeda, masing-masing kita telah mencari jalan bahagia.
Meski bahagia itu bukan lagi tentang kita.
Tapi aku tetap mengingatmu sebagai bahagiaku.
Karena bahagia bukan hanya tentang bersatu.